Minangkabau Untuk Indonesia


Unit kegiatan Minangkabau (UKM) persembahan Institut Teknologi Bandung telah masuk tahun ke 36  yang bertema “Manyibak Kaba, Mambangkik Aso” bertempat di gedung Sasana Budaya Ganesha (sabuga) Bandung. Sempat terdengar isu tidak akan berlangsung meriah seperti tahun-tahun sebelumnya dikarenakan cuaca yang kurang bersahabat.

Namun, Kegiatan yang menjadi jembatan silahturahmi sesama masyarakat minangkabau ini malah terjadi sebaliknya .Kepadatan penonton malam itu merupakan pemandangan yang luar biasa, kekurangan tempat serta tidak kebagian tiket masuk menyisakan kesedihan bagi sebagian penonton.

Penyebaran undangan sebanyak 800 undangan dan 200 tiket masuk umum habis di buru khalayak. Acara dibuka dengan tari Persembahan (pasambahan)  penyambutan selamat datang bagi para tamu dan undangan. Gedung dan pelataran disulap dengan pelaminan dan latar rumah adat Minangkabau, serta dua sejoli UDA dan UNI yang mengenakan pakaian adat minang sebagai pagar ayu penyambut tamu dan undangan yang hadir. Kemeriahan dan kemegahan acara terdengar dari sorak tepuk tangan  para penonton.

Acara berlangsung mulai pukul 19.00wib hingga pukul 23.00wib lebih kurang 5 jam Drama dan tarian jum’at malam (22/4) disiarkan Live streaming melalui jejaring sosial dapat di akses di alamat www.Ukm.itb.ac.id/livepagelaran sehingga bisa disaksikan oleh berbagai kalangan di seluruh dunia.
Potret keindahan alam dan kuliner Minangkabau melalui layar monitor sontak membuat sedih para penonton yang telah lama merantau, rindu akan kampung halaman serta sanak saudara.

Chaca (20) mahasiswi Telkom Bandung jauh-jauh dari kawasan buah batu menyisakan waktu luangnya hanya untuk menyaksikan kerinduannya pada ranah minang tercinta. ”sempat ingin menangis kangen kampung tetapi malu di depan teman-teman” ungkap chaca seusai pagelaran.

Rangkaian demi rangkaian acara menghasilkan satu kesimpulan agar kebudayaan Minangkabau tidak punah dilanda arus globalisasi, diharapkan kepada anak cucu dapat melestarikannya dimanpun ia berada sesuai dengan filsafat masyarakat minang “dimana bumi dipijak, disitu langit di junjung” . (Dst)

Related Post